Bahan bakar minyak (BBM) bisa disebut sebagai barang paling sakti di dunia modern, geliatnya selalu membuat gonjang ganjing panggung kehidupan. Perang yang memberangus ribuan nyawa pun juga acap berpangkal pada urusan itu.
Di negeri kita, bila harga BBM menggeliat, harga barang dan jasa lainnya sontak bergejolak. Semua mulut sibuk membicarakannya. Ada yang ngomel sendirian, ada pula yang ngomel rame-rame hingga berbuntut isu mengganti pemerintahan. Luar biasa saktinya komoditas yang satu ini.
Dalam urusan ini, saya berfikir yang sederhana saja karena menyadari posisi hanya sebagai penerima kebijakan. Bukan pembuat kebijakan. Hanya bisa menerima apa pun keputusan para petinggi negeri. Oleh karenanya, saya tak rela kehabisan energi hanya untuk berkeluh kesah. Saya sadar, mau ngomel pakai bahasa jin pun tetap tidak bisa mengubah keadaan manakala para petinggi (Pemerintah & DPR) telah memutuskan kenaikan harganya. Saya lebih suka mencurahkan tenaga dan fikiran untuk mencari jalan keluar bagi diri kita masing-masing.
Idealnya, bila biaya hidup terkerek naik karena ulah BBM, harus diimbangi kenaikan penghasilan. Dengan demikian, akan tercapai suatu keseimbangan baru. Upaya mengecilkan pengeluaran memang bisa ditempuh, namun hanya akan berbuah kesengsaraan, alias bisa ngenes sendirian.
Saya yakin semua orang ingin penghasilannya naik. Namun, kenyataan sering tak sejalan dengan keinginan. Ketika biaya hidup tiba-tiba melesat karena imbas BBM, para pegawai harus gigit jari karena gajinya diam bergeming. Dalam konteks ini, saya melihat kewirausahaan sebagai alternatif solusi.
Sebagai orang yang gemar menularkan virus entrepreneurship, saya justru melihat manfaat dari naiknya harga BBM. Keadaan yang tidak menyenangkan itu, bisa memicu lahirnya prinsip “merasa harus” berwirausaha. Biasanya, orang merasa harus melakukan sesuatu karena kepepet atau tidak punya opsi lain. Bila sebelumnya niatan berbisnis hanya sekadar keinginan, sekaranglah saat yang tepat untuk mewujudkannya. Logikanya, ketika seseorang merasa harus mencapai sesuatu, ia akan melakukan segala daya upaya untuk bisa mencapainya. Peluang keberhasilannya menjadi lebih tinggi. Akan tercipta situasi seperti halnya merasa harus makan ketika lapar atau merasa harus berobat ketika sakit. Karena kepepet biaya hidup, lantas merasa harus menambah penghasilan dengan berwirausaha.
Berwirausaha tidak harus diterjemahkan dengan membuka toko, mendirikan pabrik, atau hal lain yang identik dengan modal kapital besar. Bisa dimulai dengan memanfaatkan apa yang dimiliki. Apa yang dilakukan oleh sopir saya bisa menjadi contoh nyata. Gajinya sebagai sopir tak mampu menopang kebutuhan hidupnya ketika ia punya anak kedua. Kenyataan memilukan itu melahirkan kesadaran “merasa harus” menambah penghasilan. Setahun lalu, ia dan isteri memutuskan membuat kue donat mini yang penjualannya dititipkan di warung dan toko-toko. Harga jualnya pun amat murah, hanya Rp. 500. Modal awalnya hanya Rp. 100.000 saja. Siang bekerja sebagai sopir, malam hari berjibaku mengolah tepung yang pagi harinya sudah berubah bentuk menjadi donat mini. Kini, penghasilan usaha donatnya itu sudah empat kali lipat jumlah gajinya sebagai sopir. Ketika karyawan lainnya mengumbar keluh kesah karena harga BBM naik, sopir saya itu tenang-tenang saja karena punya sumber income lebih dari satu.
Kesimpulannya, untuk bisa keluar dari tekanan hidup, seseorang harus fokus pada hal yang bisa dikontrol sendiri. Tidak perlu buang energi meributkan hal yang di luar kontrolnya. Sopir itu tidak merengek meminta kenaikan gaji, karena sepenuhnya menjadi wewenang saya. Ia tidak bisa mempengaruhi. Ia lebih memilih menggali potensi diri dan keluarganya untuk menemukan solusi tekanan hidupnya.
Untuk merealisasikan keinginan berwirausaha, langkah si sopir itu patut diteladani. Ia berhasil menggali potensi diri dan keluarganya. Banyak orang tak sadar telah menyia-nyiakan potensi hebat yang dimiliki karena terlalu sibuk mengurusi hal yang berada di luar kontrolnya. Harga BBM jelas-jelas berada di luar kontrol kita sebagai rakyat biasa. Memacu otak dan ototlah yang berada dalam kontrol kita sendiri.
Cara mudah mengenali potensi diri adalah dengan menginterogasi diri sendiri dengan pertanyaan sederhana: “Saya bisa apa? Saya punya apa?”. Untuk menjawabnya, butuh kejujuran serta kejelian karena akan menentukan arah langkah selanjutnya. Jawabannya tentu bisa berbeda antar individu, dipengaruhi keadaan/kemampuan/pengalaman masing-masing. Apa pun jawabannya, bisa menunjukkan potensi yang dimiliki. Selanjutnya dapat digunakan sebagai pijakan awal menyusun rencana menambah penghasilan (berwirausaha).
Bagaimana bila tidak yakin dengan potensi diri? Gampang saja, pergunakan/manfaatkan potensi yang dimiliki orang lain. Sebenarnya, justru banyak pengusaha sukses yang hanya bermodal kemampuan memanfaatkan dan mengorganisir potensi orang lain. Bila tidak bisa membuat kue, suruh orang lain yang membuat, kita yang menjualkannya. Gampang kan?
Besar harapan saya, gonjang-ganjing kenaikan harga BBM kali ini bisa menumbuhkan prinsip merasa harus berwirausaha. Mari kita biasakan mengubah tiap masalah menjadi bahan bakar semangat untuk maju. Dengan demikian, kita bisa menjadi kaum yang selalu bersyukur.
SUMBER: http://www.enciety.co/
Ditulis Oleh: Suwandono (mr.swand @yahoo. co. id )